Satu per satu para santri mulai datang memarkirkan motor berjajar rapi di halaman nDalem Seringin. Di serambi, Gus Ziyyulhaq sudah duduk bersila, tampak khusyuk menelaah lembar demi lembar kitab Al-Bidayah wan Nihayah di atas meja kecilnya. Di tengah keheningan persiapan itu, Kang Sigit melangkah pelan, menyuguhkan secangkir kopi yang uap panasnya masih mengepul.
Setelah menyeruput sedikit kopinya dan memastikan semua santri siap, Gus Ziyyulhaq memulai pengajian. Suasana seketika berubah hening saat beliau masuk ke pembahasan tahun 34 Hijriah. “Iki wis akhir-akhir (Ini sudah akhir-akhir),” ucap beliau lirih, “Setahun sakdurunge Utsman sedo (Setahun sebelum Utsman wafat).”
Gus Ziyyulhaq memulai cerita dari adanya surat-menyurat rahasia di antara kelompok yang disebut “Al-Munharifun,” atau gampangnya, para pemberontak. Beliau menjelaskan bahwa otak dari gerakan ini kebanyakan ada di Kufah. Dan yang bikin kaget, mereka ini bukan preman pasar, tapi para Quro, yakni para ahli Al-Qur’an di Kufah. Awalnya, mereka ini adalah bagian dari aparatur pemerintahan di Kufah, di bawah gubernur Sa’id bin Ash. Tapi mereka mulai merongrong dan mengkritik habis-habisan gubernurnya sendiri.
Lalu, apa sebetulnya yang mereka permasalahkan? Gus Ziyyulhaq membeberkan akar masalahnya, yang ternyata nun jauh di Mesir. Pemicunya adalah reshuffle gubernur. Khalifah Utsman mengganti Amru bin Ash dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Saroh. Nama terakhir ini, Abdullah bin Sa’ad, adalah biang masalahnya bagi para Quro. Gus Ziyyulhaq menyebut profilnya “blas ora Islami” (sama sekali tidak Islami). Bayangkan saja, di zaman Kanjeng Nabi, orang ini diceritakan pernah mencoba membuat “Qur’an tandingan” dan sangat sering menyakiti hati Rasulullah. Parahnya lagi, dia ini ternyata masih sepupunya Utsman. Para Quro pun protes keras, “Wong koyo ngono kok didadekne gubernur? Podo karo nglarani atine Kanjeng Nabi” (Orang seperti itu kok dijadikan gubernur? Sama saja menyakiti hatinya Kanjeng Nabi).
Tentu, Utsman punya pembelaan. Gus Ziyyulhaq menerangkan bahwa sang Khalifah beralasan pengangkatan itu bukan kemauan pribadinya, melainkan atas permintaan rakyat Mesir sendiri. Beliau hanya melegalkan. “Lah, piye jal?” (Nah, gimana coba?) celetuk Gus Ziyyulhaq, menunjukkan betapa rumitnya posisi Utsman saat itu. Masalah di Mesir ini akhirnya meledak di Kufah. Para Quro yang tidak bisa protes langsung ke Mesir, melampiaskannya dengan menyerang Gubernur Kufah, Sa’id bin Ash (yang kebetulan juga kerabat Utsman).
Karena situasi di Kufah tidak kunjung selesai dan makin panas, Khalifah Utsman akhirnya mendeportasi para Quro ini ke Syam, di bawah pengawasan Muawiyah. Harapannya, di sana mereka bisa diredam. Tapi kata Gus Ziyyulhaq, di Syam ya “panggah ruwet” (tetap saja bikin runyam), malah menyebarkan keresahan baru sampai terjadi pembunuhan. Muawiyah akhirnya angkat tangan, “Kulo nyerah, mboten mampu,” (Saya menyerah, tidak mampu) dan memulangkan mereka kembali ke Kufah.
Dari Kufah, mereka tidak dibiarkan. Dideportasi lagi, kali ini ke Hims, wilayahnya Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Di Hims, Gus Ziyyulhaq menceritakan, kelakuan mereka “sansoyo nemen” (semakin menjadi-jadi). Mereka tidak sekadar protes, tapi berhasil mengkudeta pemerintahan Hims. Gubernurnya, Abdurrahman bin Khalid, sampai harus melarikan diri menyelamatkan diri. Situasi sudah “gawat pol,” (gawat sekali) kata Gus Ziyyulhaq.
Melihat ini, Utsman akhirnya memanggil para biang kerok Quro ini ke ibu kota, Madinah, dengan pengawalan militer. Di Madinah, Khalifah Utsman tidak bertindak sendiri. Beliau menggelar majelis besar, didampingi para Qodhi (hakim) seperti Ali bin Abi Thalib, dan memanggil semua gubernur terkait (Muawiyah, Sa’id bin Ash, bahkan mantan gubernur Amru bin Ash) untuk dimintai kesaksian. Para Quro ini menyampaikan dua tuntutan utama: Pertama, pecat Gubernur Mesir (Abdullah bin Sa’ad). Kedua, pecat semua gubernur yang masih kerabat Utsman.
Majelis Qodhi pun bersidang dan mengambil keputusan. Tuntutan pertama, soal Gubernur Mesir, diterima. Abdullah bin Sa’ad langsung dipecat saat itu juga. Tapi tuntutan kedua, soal pecat semua kerabat, ditolak. Alasannya, jika semua gubernur diganti serentak, bisa memicu kekacauan yang lebih besar di wilayah-wilayah tersebut. Masalahnya, para Quro ini “sik nggrundel” (masih menggerutu) dan tidak terima. Selama berminggu-minggu di Madinah, mereka malah mulai menggalang massa dan mempengaruhi penduduk setempat.
Akhirnya, Majelis Qodhi mengambil keputusan akhir yang, terus terang, membuat kami semua yang ngaji menahan tawa. “Dok, dok, dok… Kabeh Quro iki dikirim ning medan perang!” (Semua Quro ini dikirim ke medan perang!). Gus Ziyyulhaq menjelaskan logika di baliknya sambil sedikit tersenyum, “Ben mati nggon kono ben syahid. Beres” (Biar mati di sana biar syahid. Selesai). Itu adalah solusi politik terbaik saat itu. Mereka pun disebar ke berbagai front perang, ada yang ke Afrika (Andalus), ada yang ke Eropa (Siprus). “Tapi,” kata Gus Ziyyulhaq sambil menutup kitabnya, “Dilalah wong iki ora mati. Malah menang perang terus mbalik meneh.” (Kebetulan orang-orang ini tidak mati. Malah menang perang terus kembali lagi). Wah, jadi makin penasaran. Kisah selanjutnya terpaksa harus kami tunggu di pertemuan ngaji berikutnya.




