Hilangnya Cincin Stempel Nabi dan “Protes Keras” Abu Dzarr

Malam ini sudah sampai pada pembahasan di tahun 30 Hijriah, atau sekitar tahun 650 Masehi. Suasana nDalem Seringin yang semula riuh dengan sautan suara para santri mendadak hening saat beliau memandu pembukaan ngaji dengan kirim doa ke para leluhur. Gus Ziyyulhaq lanjut membacakan ibarat kitab, “Saqoto khotamun nabiyi min yadi Uthmanin fi bi’ri arisin.” Artinya, jatuhlah cincin Nabi dari tangan Utsman bin Affan ke dalam sumur Aris. Gus Ziyyulhaq menjelaskan dengan gaya khasnya yang santai tapi ngena, bahwa cincin ini bukan sekadar perhiasan, tapi simbol legalitas kepemimpinan Islam yang turun-temurun dari Nabi, Abu Bakar, Umar, hingga Utsman.

Yang menarik, Gus Ziyyulhaq menceritakan detail sumur Aris itu. Lokasinya ternyata lumayan jauh, sekitar dua mil atau lima kilometer dari Madinah. Sumur itu aslinya buatan kaum Yahudi zaman dulu dengan air yang sebenarnya sedikit (min aqollil abari maan). Ketika cincin itu jatuh, Utsman panik luar biasa. Pencarian dilakukan besar-besaran selama tiga hari, menguras biaya banyak (badzli malin jazilin), bahkan mungkin sumurnya dikuras, tapi hasilnya nihil. Gus Ziyyulhaq sempat berseloroh, “Embuh kiro-kiro digondol Jin paling (entahlah, mungkin dicuri Jin),” yang membuat kami para santri tersenyum simpul. Akhirnya, Utsman membuat duplikat dari perak dengan ukiran “Muhammadur Rasulullah” sebagai stempel resmi negara.

Namun, ketegangan sesungguhnya baru dimulai di bagian kedua ngaji. Gus Ziyyulhaq membahas konflik panas di tanah Syam (Damaskus) antara Gubernur Muawiyah dan sahabat senior, Abu Dzarr Al-Ghifari. Kami seolah diajak membayangkan suasana Syam waktu itu yang gemerlap. Muawiyah membangun pemerintahan Islam dengan gaya Romawi: istana bertingkat, pengawal berbaju zirah, perabotan dari emas, dan pakaian sutra. Ini kontras sekali dengan kesederhanaan Nabi yang tidurnya saja hanya beralaskan pelepah kurma. Melihat kemewahan ini, Abu Dzarr “muring-muring” alias marah besar. Beliau mengkritik keras orang-orang yang menumpuk harta (yaqtani malan) sampai kurus karena saking iritnya (ngempet), padahal harusnya disedekahkan.

Gus Ziyyulhaq sangat hidup menggambarkan perdebatan ini. Abu Dzarr menggunakan dalil surat At-Taubah ayat 34 tentang ancaman bagi penimbun emas perak. Beliau berkata lantang, “Dulu Nabi pesan ke aku, kalau bangunan sudah bertingkat-tingkat (idza balaghol binau sal’an), tinggalkan!” Tapi Muawiyah, yang cerdas dan ahli politik, punya argumen tak kalah kuat. Muawiyah membalas, “Lho, Abu Dzarr, yang diwasiati Nabi bukan cuma kamu, aku juga sekretaris Nabi. Ini semua adalah janji Allah dalam surat Al-Fath, maghonima katsirotan, bahwa umat Islam akan dapat harta rampasan banyak. Jadi kemewahan ini takdir Allah yang harus dinikmati.” Di sini Gus Ziyyulhaq menyentil bahwa argumen Muawiyah ini adalah bibit-bibit paham Jabariyah, di mana manusia merasa hanya sekadar menjalani skenario Tuhan tanpa punya andil.

Konflik ini tak berujung titik temu. Abu Dzarr yang sendirian (dhewe ple) tapi berani, akhirnya dilaporkan ke Utsman di Madinah. Lucunya, saat dipanggil ke Madinah, Abu Dzarr malah ganti mengkritik Utsman yang ternyata juga mulai membangun rumah mewah dan punya banyak budak. Gus Ziyyulhaq menirukan gaya Abu Dzarr yang blak-blakan, “Kono enek Muawiyah, nggon kene kowe yo ngono pisan! (Di sana ada Muawiyah, di sini kamu kok ya begitu juga!)” Utsman pun tak bisa membantah idealisme Abu Dzarr, namun juga tak bisa membiarkan stabilitas negara terganggu oleh kritik tajam sang sahabat.

Akhir cerita ngaji kali ini terasa agak getir. Abu Dzarr yang memegang teguh kesederhanaan Nabi akhirnya diperintahkan—atau memilih—untuk tinggal di tempat terpencil bernama Rabadzah, sebelah timur Madinah. Beliau hidup menyepi di sana sampai wafatnya, menjauh dari hiruk-pikuk politik dan kemewahan duniawi yang ia benci. Gus Ziyyulhaq menutup ngaji dengan gambaran bahwa Abu Dzarr bahkan tidak hadir saat tragedi pembunuhan Utsman kelak, karena ia sudah terisolasi di gurun sunyi itu. Kami pun menutup kitab dengan perasaan campur aduk, merenungi betapa beratnya memegang idealisme di tengah dunia yang makin gemerlap, sebuah dilema yang rasanya masih relevan sampai detik ini.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 48