Malam semakin larut, namun rasa kantuk seolah enggan menyapa. Gus Ziyyulhaq masih semangat melanjutkan pembacaan kitab Al-Bidayah wan Nihayah. Jika sebelumnya kami dibuat pusing oleh ruwetnya isu nepotisme yang menjerat tiga wilayah sekaligus, kini Gus Ziyyulhaq mengajak kami masuk ke fase yang lebih krusial: pertemuan empat mata antara Utsman bin Affan sang Amirul Mukminin dengan Ali bin Abi Thalib, pemimpin Majelis Qadi (lembaga peradilan).
Gus Ziyyulhaq menyoroti satu kata kunci dari teks Ibnu Katsir: “Qala” (berkata). Kata yang sederhana, namun malam ini “Qala” mewakili sebuah dialektika panas di tengah situasi Madinah yang mencekam. Ali bin Abi Thalib datang menemui Utsman bukan untuk menyerang, melainkan karena desakan rakyat yang memintanya menjadi penyambung lidah.
Dengan gaya bicaranya yang khas, Gus Ziyyulhaq menerjemahkan ucapan Ali kepada Utsman: “Demi Allah, aku iki ora ngerti opo-opo. Penake ngomong ngono. Ning mburiku akeh masyarakat sing muni tentang awakmu,” (Demi Allah, aku ini tidak tahu apa-apa. Mudahnya bicara begitu. Tapi di belakangku banyak masyarakat yang membicarakan dirimu).
Ali tidak hanya melapor, tapi juga menasihati Utsman dengan cukup keras, mengingatkan beliau akan kedekatannya dengan Rasulullah dan membandingkannya dengan era Abu Bakar serta Umar. “Ali nemoni Utsman malah ceramah,” (Ali menemui Utsman malah memberi ceramah), celetuk Gus Ziyyulhaq yang membuat kami tersenyum getir. Namun, Utsman bin Affan punya pembelaan yang logis. “Demi Allah wahai Ali, lek umpama posisimu iki ning posisiku, mesti kowe ora ujug-ujug langsung nasihati koyo dene sing mbok unekne kuwi mau,” (Demi Allah wahai Ali, kalau seumpama posisimu ada di posisiku, pasti kamu tidak tiba-tiba langsung menasihati seperti yang kamu ucapkan tadi).
Di sinilah Gus Ziyyulhaq menguraikan jawaban Utsman terkait tuduhan “kerabat-isme” yang kami bahas sebelumnya. Ternyata, pengangkatan para gubernur itu punya dasar kuat. Abdullah bin Sa’ad diminta oleh rakyat Mesir sendiri. Sa’id bin Ash diinginkan warga Kufah. Lalu Muawiyah? Utsman menegaskan, “Muawiyah dadi gubernur Syam kuwi kit zamane Umar biyen. Dudu aku sing gawe,” (Muawiyah jadi gubernur Syam itu sejak zamannya Umar dulu. Bukan aku yang membuat/mengangkat). Ali pun membenarkan fakta-fakta ini. Secara hukum, tuduhan itu terbantahkan. Masalah dianggap clear.
Namun, jika di tingkat elit masalah sudah selesai, kenapa api pemberontakan di akar rumput justru kian membesar?
Gus Ziyyulhaq kemudian membongkar satu detail peristiwa yang jarang diketahui orang—sebuah kasus spesifik di Mesir yang memicu persepsi korupsi di mata rakyat awam: Kasus Ghanimah (Harta Rampasan Perang).
Dikisahkan, Gubernur Abdullah bin Sa’ad mengumpulkan harta rampasan perang yang sangat banyak dari penaklukan Afrika/Mesir. Karena barangnya berupa kuda, ternak, dan kain sutra yang memakan tempat, kapal-kapal pengangkut tidak muat jika harus mengirim semuanya ke Madinah. Akhirnya, Abdullah bin Sa’ad berinisiatif membelinya sendiri. Ia menyurati Utsman, “Iki omong umpamane tak tuku piye? Oleh ora?” (Ini bilang seumpama saya beli bagaimana? Boleh tidak?). Utsman pun mengizinkan, supaya yang dikirim ke kas pusat di Madinah tinggal berupa kepingan emas dan perak yang ringkas.
Secara aturan masa itu, transaksi ini sah karena sudah ada izin Khalifah. Namun, di mata rakyat yang sedang sensitif, ini terlihat seperti permainan kotor. Gus Ziyyulhaq menggunakan analogi modern yang sangat menohok: “Gara-gara tender.”
Rakyat Mesir tidak tahu proses surat-menyurat itu. “Masyarakat Mesir kan ora ngerti prosese, notane barang ora eneng,” (Masyarakat Mesir kan tidak tahu prosesnya, notanya juga tidak ada), jelas Gus Ziyyulhaq. Tiba-tiba saja Gubernur memiliki barang-barang mewah itu. Timbul desas-desus liar: Berapa harganya? Siapa yang menentukan harga? Jangan-jangan harganya dimurahkan? “Jajal pikiran nggon iki piye? Sing perkara niku kan ketika lelang itu tidak diketahui orang banyak,” (Coba pikiran di bagian ini bagaimana? Perkaranya itu kan ketika lelang itu tidak diketahui orang banyak).
Karena tidak ada transparansi publik, transaksi yang sah itu dianggap sebagai kolusi. Rakyat merasa “kalah tender” dan dicurangi. Penjelasan Gus Ziyyulhaq malam ini membuka mata kami bahwa kebenaran di atas kertas saja tidak cukup. Meski Utsman dan Ali sudah sepakat tidak ada masalah, tapi persepsi publik yang buta informasi menjadi bola liar yang tak terkendali. Jalur diplomasi buntu, massa kian beringas, dan sejarah perlahan bergerak menuju titik nadir.




