Peristiwa Tahun 27 Hijriah, Gubernur “Mantan Buronan” dan Makna di Balik Penaklukan

Lembaran kitab Al Bidayah Wan Nihayah kembali dibuka malam ini, melanjutkan perjalanan sejarah umat Islam yang kini memasuki tahun 27 Hijriah atau sekitar 647 Masehi. Gus Ziyyulhaq langsung mengarahkan fokus pembahasan pada peta politik di tanah Mesir. Di sana, baru saja terjadi rotasi kepemimpinan yang cukup mengagetkan dan memancing perdebatan panjang dalam sejarah.

Gus Ziyyulhaq menceritakan bahwa di tahun ini, Gubernur Mesir yang legendaris, Amr bin Ash, diberhentikan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Padahal, kita tahu Amr bin Ash adalah sosok yang memimpin penaklukan Mesir di zaman Umar bin Khattab. Namun, estafet kepemimpinan harus berlanjut. Sebagai gantinya, Utsman mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Saroh. Di sinilah letak menariknya sejarah yang membuat para santri sempat tertegun. Gus Ziyyulhaq membedah profil Abdullah bin Sa’ad ini secara blak-blakan sesuai teks kitab. Ternyata, dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Khalifah. “Wa kaana akho Utsmana li ummihi,” (Dan dia adalah saudara laki-laki Utsman dari jalur ibunya/sepupu) jelas Gus Ziyyulhaq menerjemahkan teks Ibnu Katsir.

Namun, bukan status sepupu itu yang paling mengagetkan, melainkan masa lalu Abdullah bin Sa’ad. Gus Ziyyulhaq menceritakan bahwa saat peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah) di zaman Rasulullah, Abdullah bin Sa’ad adalah salah satu dari sedikit orang yang masuk dalam “daftar hitam” atau buronan kelas kakap. “Ahdaro rosulillahi damahuu,” (Rasulullah menghalalkan darahnya) dawuh Gus Ziyyulhaq. Saat itu, dia diburu karena permusuhannya yang sangat keras terhadap Islam, bahkan termasuk dalam tujuh orang yang diperintahkan untuk dieksekusi meskipun bersembunyi di tirai Ka’bah. Namun nasib berkata lain, dia berhasil lolos, dan baru menyerah serta masuk Islam di masa kekhalifahan Utsman. Fakta bahwa seorang “mantan buronan nabi” kini menjabat sebagai Gubernur Mesir tentu menjadi diskusi sejarah yang panas.

Isu “nepotisme” pun sempat mencuat dalam diskusi malam ini. Seorang santri bertanya, apakah pengangkatan kerabat ini tidak memicu dendam atau pemberontakan? Gus Ziyyulhaq menjelaskan dengan objektif bahwa meskipun di kemudian hari hal ini digoreng menjadi isu politik, namun secara prosedur, pengangkatan Abdullah bin Sa’ad sebenarnya adalah permintaan warga Mesir sendiri. “Wong tanda tangan kok,” (Orang mereka tanda tangan kok) kata Gus Ziyyulhaq, menjelaskan bahwa ada delegasi perwakilan warga Mesir yang memang meminta Amr bin Ash diganti akibat kasus dugaan korupsi ghanimah. Jadi, Utsman hanya merestui nama yang diajukan oleh rakyat Mesir. Diskusi ini bahkan sempat melebar ke obrolan santai tentang kemiripan sistem ini dengan demokrasi modern atau konsep perwakilan rakyat di Indonesia, di mana suara daerah diakomodir oleh pusat.

Di penghujung ngaji, pembahasan bergeser ke tema yang lebih filosofis tentang makna perang dan penaklukan (fathu) dalam sejarah Islam. Menjawab pertanyaan kritis tentang motivasi di balik ekspansi wilayah, Gus Ziyyulhaq meluruskan pandangan yang sering salah kaprah. Beliau menegaskan bahwa penaklukan wilayah tidak sama dengan pemaksaan agama. “Ora kok terus lek ora gelem mlebu Islam tak pateni, ora kok ngono kuwi,” (Bukan kok terus kalau tidak mau masuk Islam saya bunuh, bukan kok seperti itu) tegas beliau. Gus Ziyyulhaq menjelaskan konsep “kolonisasi” atau administrasi wilayah zaman dulu. Wilayah yang ditaklukkan menjadi bagian dari kedaulatan pemerintahan Islam, wajib setor pajak/upeti, tapi penduduknya tidak dipaksa masuk Islam saat itu juga. Ada jeda dan proses dialog. Bahkan, pasukan Muslim pun tidak semuanya beragama Islam; ada orang-orang Persia dan Afrika yang ikut berperang karena status mereka sebagai warga taklukan yang taat pada pemerintah pusat. Ngaji malam ini benar-benar membuka mata kami bahwa sejarah ekspansi Islam itu kompleks, rasional, dan penuh dengan dinamika kemanusiaan, bukan sekadar cerita perang buta.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 48