Perdebatan Alot Jelang Terpilihnya Amirul Mukminin Utsman bin Affan

Setelah dibuka dengan tawasul dan kirim doa Fatihah kepada para guru dan leluhur, suasana di Ndalem Seringin menjadi hening. Gus Ziyyulhaq kembali membuka kitab Al-Bidayah wan Nihayah, melanjutkan kisah menegangkan pasca wafatnya Khalifah Umar bin Khattab yang terpotong pada pertemuan sebelumnya. Malam ini, kami diajak untuk melihat lebih dalam ke “ruang rapat” yang menentukan arah kepemimpinan umat Islam selanjutnya.

Sebagai pengingat, Gus Ziyyulhaq mengulang sedikit latar belakangnya. Setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’, Khalifah Umar memiliki waktu sekitar tiga hari sebelum wafat. Dalam masa kritis itu, beliau menolak untuk menunjuk pengganti secara langsung, terutama dari keluarganya sendiri. Sebagai gantinya, beliau membentuk sebuah dewan musyawarah yang terdiri dari enam sahabat terkemuka: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.

Musyawarah pun dimulai di rumah Miswar bin Mukhzimah, dan ternyata jauh dari kata lancar. Gus Ziyyulhaq menggambarkan sebuah perdebatan yang sangat “alot”. Uniknya, alotnya perdebatan ini bukan karena mereka saling berebut kursi, melainkan justru karena semuanya merasa tidak sanggup dan saling menolak saat dicalonkan. Mereka semua sadar betul betapa beratnya tanggung jawab memimpin wilayah Islam yang sudah begitu luas.

Setelah perdebatan berhari-hari tanpa hasil, kebuntuan akhirnya mulai terpecahkan. Demi kepentingan umat yang lebih besar, tiga dari enam anggota dewan secara sukarela mengundurkan diri dan melimpahkan hak pilihnya kepada kandidat lain.

  • Zubair bin Awwam adalah yang pertama, beliau menyerahkan haknya kepada Ali bin Abi Thalib.
  • Kemudian, Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan hal serupa dan melimpahkan haknya kepada Abdurrahman bin Auf.
  • Terakhir, Thalhah bin Ubaidillah juga ikut mundur dan memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.

Dengan mundurnya tiga orang tersebut, kini kandidat pemimpin hanya tersisa tiga nama: Ali, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf.

Melihat situasi ini, Abdurrahman bin Auf, yang memimpin jalannya musyawarah, mengambil langkah besar. Beliau juga menyatakan bersedia melepaskan haknya untuk menjadi khalifah, dengan satu syarat: ia diberi mandat penuh untuk memilih satu di antara dua kandidat yang tersisa, yaitu Ali dan Utsman. “Demi Allah dan demi Islam,” kata Abdurrahman, “saya akan berijtihad untuk memilih yang terbaik di antara kalian berdua.” Ali dan Utsman pun menyetujui usulan tersebut.

Sejak saat itu, dimulailah sebuah proses yang luar biasa. Selama tiga hari tiga malam, Abdurrahman bin Auf tidak bisa tidur nyenyak. Siang hari, beliau berkeliling Madinah tanpa lelah untuk melakukan “jajak pendapat”. Beliau bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya. Mulai dari para pemimpin kaum, rakyat biasa, bahkan para musafir yang baru tiba di kota, untuk menanyakan pendapat mereka. Beliau bahkan sampai mendatangi para wanita di rumah-rumah mereka dan bertanya kepada anak-anak kecil yang sedang bermain, demi menangkap suara hati umat yang sesungguhnya. Malamnya, beliau habiskan untuk salat dan memohon petunjuk kepada Allah.

Setelah tiga hari yang melelahkan itu, Gus Ziyyulhaq menuturkan bahwa hampir semua suara yang didengar oleh Abdurrahman bin Auf mengarah kepada satu nama: Utsman bin Affan.

Pada malam keempat setelah wafatnya Umar, Abdurrahman bin Auf akhirnya merasa mantap. Beliau mendatangi rumah kerabatnya, Miswar bin Mukhzimah, dan berkata, “Wahai Miswar, apakah kau sudah tidur? Demi Allah, aku sudah tiga malam tidak bisa tidur nyenyak. Sekarang, pergilah dan panggil Ali serta Utsman untuk menemuiku.”

Gus Ziyyulhaq menceritakan detail yang menarik dari kitab: Miswar sempat bingung siapa yang harus ia panggil lebih dulu, karena khawatir akan menimbulkan tafsir yang keliru. Namun, Abdurrahman bin Auf hanya menjawab, “Panggil siapa saja yang kau kehendaki.”

Miswar pun mendatangi rumah Ali terlebih dahulu. Setelah itu, ia berlanjut ke rumah Utsman dan mendapatinya sedang khusyuk melaksanakan salat witir hingga menjelang fajar. Keduanya pun datang memenuhi panggilan di tengah keheningan malam. Suasana begitu tegang dan penuh penantian. Apa yang akan diputuskan oleh Abdurrahman bin Auf setelah melalui proses yang begitu panjang? Kisah malam ini berhenti di situ, membuat semua yang hadir pulang dengan rasa penasaran yang memuncak, menanti kelanjutan ngaji di pertemuan berikutnya.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 48