“Medeni to? (Menakutkan kan?)“ tanya Gus Ziyyulhaq retoris. Beliau mulai menggambarkan satu detail visual dari narasi Ibnu Katsir bahwa, ribuan orang dari Mesir, Kufah, dan Basrah membanjiri Madinah dengan wajah tertutup cadar. Mereka datang bergelombang dengan dalih hendak pergi haji, padahal membawa agenda kudeta. Lanjutan ngaji Al-Bidayah wan Nihayah berubah menjadi kronik horor politik. Setelah forum klarifikasi Utsman berakhir buntu (deadlock), Madinah resmi jatuh dalam status “Siaga Satu”.
Berita tentang surat perintah pembunuhan itu menyebar cepat bak api disiram bensin. Gus Ziyyulhaq menggambarkan situasi pasca bubarnya majelis itu dengan sangat dramatis: “Wis emosinya meledak-ledak (Emosinya sudah meledak-ledak).” Orang-orang Qura tidak terima dengan sangkalan Utsman. Kemarahan ini menular ke pemerintahan bawahan, memicu mobilisasi massa besar-besaran.
Ibnu Katsir mencatat detail yang membuat bulu kuduk merinding. Dari Mesir saja, datang empat gelombang massa. Satu gelombang minimal berisi 600 hingga 1000 orang. Mereka dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Abdurrahman bin Udais Al-Balawi, Kinanah bin Bisyr, dan Saudan bin Humran. Pucuk pimpinan tertinggi mereka bernama Al-Ghafiqi bin Harb. Yang mengerikan, Gus Ziyyulhaq menyoroti satu detail visual: “Fihim yaban, nggawe cadar kabeh,” (Mereka semua memakai cadar/penutup wajah). Bayangkan, ribuan orang masuk ke Madinah dengan wajah tertutup, berdalih hendak pergi haji, padahal membawa agenda kudeta.
Tak hanya dari Mesir, gelombang serupa datang dari Kufah dan Basrah, masing-masing juga empat gelombang. Di tengah lautan massa ini, muncul satu nama yang selama ini sering dianggap tokoh fiktif atau kontroversial: Abdullah bin Saba’ (atau Ibnu Sauda’). Gus Ziyyulhaq menegaskan bahwa dalam catatan Ibnu Katsir di titik ini, nama tersebut benar-benar muncul sebagai bagian dari gelombang massa Mesir.
Madinah benar-benar dalam status “Siaga Satu”. Masjid Nabawi dikuasai, bahkan Utsman sampai tidak bisa memimpin salat Jumat. Di tengah kekacauan ini, peran Ali bin Abi Thalib menjadi sorotan. Gus Ziyyulhaq meluruskan sejarah bahwa Ali tidak membiarkan Utsman sendirian. Ali justru memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk menjadi tameng hidup bagi Utsman. “Wis jogonen terus (Sudah, jaga terus). Kamu harus ada di samping Utsman terus,” kata Gus Ziyyulhaq menggambarkan perintah Ali.
Visualisasi salat jamaah di masa genting itu digambarkan Gus Ziyyulhaq mirip Salat Khauf (salat dalam kondisi perang). Utsman menjadi imam, namun di belakangnya berdiri pasukan pengawal bersenjata lengkap yang menghadap ke arah makmum, siap menebas siapa saja yang berniat jahat. Saking riuhnya suasana, suara takbir Utsman harus disambung (dikeraskan ulang) oleh Bilal agar terdengar.
Di tengah kepungan massa bercadar yang menuntut kepala Marwan bin Hakam, Ali bin Abi Thalib mencoba bernegosiasi. Massa menuntut: “Serahkan Marwan bin Hakam pada kami!”. Namun Utsman menolak. Bagi Utsman, menyerahkan Marwan sama saja menyetujui pembunuhan tanpa pengadilan, karena Majelis Qadi (Lembaga Hukum) belum memvonis Marwan bersalah secara resmi. Ali pun terjebak dalam dilema hukum yang pelik: massa menuntut keadilan jalanan, sementara Utsman bertahan pada prinsip praduga tak bersalah.
Malam itu, kami menutup kitab dengan perasaan campur aduk. Sejarah mencatat betapa tipis batas antara menuntut keadilan dan memicu anarki. Madinah yang dulu tenang kini berubah menjadi lautan manusia bertopeng, sementara nasib sang Khalifah bergantung pada seutas benang di tangan para pengawal setianya. Gus Ziyyulhaq menutup ngaji dengan cliffhanger tentang nasib Marwan bin Hakam dan misteri stempel yang hilang di sumur, menyisakan tanda tanya besar yang harus kami simpan untuk pertemuan esok hari.




