Masih di tahun yang sama, Gus Ziyyulhaq mengajak kami melihat sisi lain dari tahun 25 Hijriah ini. Pembahasan dibuka dengan peristiwa penaklukan kota pelabuhan Iskandariyah (Alexandria). Di sini, Gus Ziyyulhaq memberikan wawasan sejarah yang menarik soal asal-usul nama kota tersebut. Ternyata, nama itu diambil dari penakluk pertamanya ribuan tahun lalu, Alexander The Great (Alexander Agung) dari Yunani. “Cara bosone Eropa Alexandria, ilate wong Islam Iskandariyah,” (Cara bahasa Europanya Alexandria, lidahnya orang Islam menyebut Iskandariyah) jelas Gus Ziyyulhaq. Kota ini sudah berganti penguasa berkali-kali, dari Yunani, Romawi, sempat direbut Persia, lalu kembali ke Romawi, hingga akhirnya takluk ke tangan kaum Muslimin di bawah pimpinan Amr bin Ash.
Yang unik, penaklukan ini terjadi tanpa perlawanan berarti. Pasukan Romawi memilih menyerah secara damai dengan berbagai kesepakatan (‘unwatan dan sulhan). Alasannya pragmatis: mereka sudah mendengar kekalahan rekan-rekannya di Persia dan wilayah Mesir lainnya, jadi merasa percuma melawan. Dampak dari penyerahan damai ini luar biasa bagi logistik umat Islam. Mereka mendapatkan ratusan kapal besar dan perahu (marokib) milik Romawi yang tertinggal di pelabuhan.
Mendengar fakta ini, Gus Ziyyulhaq melontarkan guyonan yang membuat kami para santri tertawa. “Awake dhewe ning Tanjung Perak ngono duwe kapal loro ngono, wis penghasilan songko kuwi dipangan pitu turunan ora entek,” (Kita di Tanjung Perak saja kalau punya dua kapal, penghasilan dari situ dimakan tujuh turunan tidak habis). Bayangkan, saat itu kaum Muslimin mendapatkan puluhan bahkan ratusan kapal perang! Momen inilah yang memperkuat armada laut Islam secara signifikan.
Masih di tahun 25 H, Gus Ziyyulhaq menunjukkan betapa objektifnya Ibnu Katsir sebagai sejarawan. Beliau mencatat adanya perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya Sa’ad bin Abi Waqqas dipecat dari Gubernur Kufah dan digantikan Walid bin Uqbah. Ada riwayat (Saif bin Amr) yang menyebut kejadian itu di tahun 25 H, berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang menyebut tahun 24 H. Gus Ziyyulhaq mengingatkan bahwa Ibnu Katsir menampilkan semua versi agar pembaca tahu. “Awake dhewe ora kober arep neliti, butuh wektu dowo,” (Kita tidak sempat kalau mau meneliti sendiri, butuh waktu lama) canda Gus, sehingga kita patut bersyukur ulama terdahulu sudah merangkumnya.
Selain itu, dicatat pula momen spiritual di mana Khalifah Utsman bin Affan berangkat memimpin ibadah Haji bersama kaum Muslimin, serta pergerakan Muawiyah di Syam yang sukses menaklukkan benteng-benteng Romawi. Di tahun ini juga, sejarah mencatat kelahiran Yazid bin Muawiyah, sosok yang kelak akan menjadi pemimpin Dinasti Umayyah.
Bagian paling dramatis malam ini adalah intrik politik di Mesir. Gus Ziyyulhaq menceritakan ironi yang dialami Amr bin Ash. Sebagai Gubernur, Amr memerintahkan bawahannya, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Saroh, untuk memimpin pasukan menggempur wilayah Maghrib (Maroko) dan Ifriqiyah. Namun, tak lama berselang, justru Amr bin Ash dipecat oleh Khalifah Utsman, dan posisinya digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad—orang yang tadi disuruhnya perang.
Gus Ziyyulhaq memberikan sorotan tajam pada sosok Abdullah bin Sa’ad ini. Beliau menyebutnya sebagai “wong ruwet” (orang bermasalah/rumit). Meskipun hafal Al-Qur’an dan Hadis, serta punya hubungan kekerabatan dengan Utsman, rekam jejaknya penuh kontroversi. Kelak, Abdullah bin Sa’ad inilah yang gaya hidupnya bermewah-mewahan layaknya “The Next Firaun“, memicu kemarahan warga Mesir, hingga akhirnya dipecat Utsman. Sakit hati karena pemecatan itu pula yang membuatnya menjadi salah satu arsitek di balik skandal pembunuhan Utsman.
Sesi tanya jawab malam ini membawa diskusi ke arah yang lebih filosofis. Menjawab pertanyaan santri tentang motivasi perang, Gus Ziyyulhaq menegaskan bahwa tujuan utamanya bukan SDA atau harta. Kaum Muslimin mengidentifikasi gerakan mereka sebagai Futuh (Pembukaan/Pembebasan).
Gus Ziyyulhaq memberikan konteks sejarah yang luas: Kekuasaan Romawi sudah bercokol sangat lama, bahkan sejak zaman Nabi Isa (Yesus) sekitar 600 tahun sebelumnya. “Masyarakat di bawah pemerintahan Romawi kuwi yo perbudakan sangat keras, sangat kejam,” jelas Gus Ziyyulhaq. Maka, kedatangan Islam diklaim sebagai upaya membebaskan manusia dari sistem yang rusak itu.
“Awake dhewe iki mlebu rono, ora kok njajah,” (Kita masuk ke sana itu bukan untuk menjajah) jelas Gus Ziyyulhaq menirukan semangat pasukan saat itu. Namun, Beliau juga mengajak kami berpikir kritis: apakah klaim pembebasan itu benar-benar terbukti di lapangan atau hanya sekadar jargon politik? Jawabannya, menurut beliau, harus dilihat dari praktik sejarah selanjutnya. Ngaji pun ditutup dengan kesimpulan bahwa tahun 25 H penuh dengan dinamika, dan Gus Ziyyulhaq mengakhiri majelis dengan ajakan santai: “Kita pending dulu, istirahat, ngopi-ngopi dulu.




