Malam semakin larut, tapi semangat kami di Ndalem Seringin justru semakin antusias menyimak kelanjutan kisah yang disampaikan Gus Ziyyulhaq. Hari ini Gus Ziyyulhaq mengajak kami masuk ke momen paling menegangkan dalam salah satu periode sejarah Islam awal. Yakni, detik-detik penobatan Khalifah ketiga, Utsman bin Affan, dan membongkar mengapa praktik kepemimpinan ini disebut sejarawan sebagai bukti Demokrasi Pertama dalam Islam.
Gus Ziyyulhaq mengawali ngaji dengan mengingatkan bahwa proses penentuan pemimpin pasca wafatnya Umar bin Khattab ini sangat alot, sampai molor enam hari setelah pemakaman Umar. Alasannya, para sahabat yang tergabung dalam Dewan Syura (Ahlul Halli wal ‘Aqd) merasa tanggung jawab ini terlalu berat, dan mereka harus benar-benar memastikan pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan dinasti atau kudeta.
Gus Ziyyulhaq menekankan bahwa Khilafah pada masa Utsman memiliki makna spesifik: ia adalah nama bagi Pemerintahan Islam (Daulatul Muslimin), bukan Monarki Absolut. Sistem yang dibangun para sahabat sama sekali bukan model dinasti Romawi atau Persia. Justru praktik ini sangat kontras dengan konsep Khilafah yang marak dibicarakan hari ini, yang sering kali menolak demokrasi dan menganut konsep yang lebih mirip dinasti.
Karena kebuntuan di antara enam kandidat utama, Abdurrahman bin Auf mengambil langkah berani: beliau diberi mandat penuh untuk memilih satu dari dua kandidat terakhir, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Gus Ziyyulhaq menjelaskan, Abdurrahman bin Auf kemudian melakukan jajak pendapat massal—sebuah proses yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Beliau menemui siapa saja—dari ibu-ibu, anak-anak, hingga orang-orang di tempat yang jauh—untuk mencari tahu suara hati umat, sebuah praktik yang sangat demokratis. Setelah tiga hari yang melelahkan, hampir semua suara umat mengerucut pada Utsman bin Affan.
Puncaknya terjadi ba’da Asar pada tanggal 23 Oktober 644 Masehi. Di depan kerumunan yang sudah menunggu sejak Subuh, Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan final di mimbar Rasulullah. Kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah engkau siap membaiat berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi, dan mengikuti praktik Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab, “Tidak, saya akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kemampuan saya sendiri.”. Sementara kepada Utsman bin Affan, dengan pertanyaan yang sama, Utsman menjawab singkat, “Na’am (Ya),” menunjukkan kesediaannya untuk melanjutkan pola pemerintahan yang sudah terbukti sukses.
Abdurrahman bin Auf langsung mengangkat tangan Utsman seraya berseru, “Ya Allah, dengarkan dan saksikanlah! Saya memberikan apa yang ada dalam kewenangan saya ini kepada Utsman!”. Utsman bin Affan resmi menjadi Amirul Mukminin, disusul baiat dari seluruh sahabat. Kajian ini menutup pintu bagi klaim Khilafah yang berujung pada kekuasaan otoriter, militeristik, atau kudeta. Justru Khilafah yang sah adalah model pemerintahan musyawarah yang didirikan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqd dan disahkan oleh persetujuan umat, sebuah tradisi yang jauh lebih maju daripada sistem dinasti di sekitarnya.
Pengetahuan yang disampaikan Gus Ziyyulhaq ini, membuat kita semakin menghargai sejarah perjuangan para sahabat. Rasanya kita betul-betul diajak beliau untuk hadir di Madinah, menyaksikan ketegangan yang berakhir dengan lahirnya Khalifah ketiga melalui proses yang sangat partisipatif dan terbuka. Sampai jumpa di catatan ngaji berikutnya!




