Kajian kitab Bidayah wan Nihayah di malam Ramadan kali ini membahas sebuah topik yang luar biasa relevan dengan zaman sekarang: reshuffle kabinet. Gus Zul mengisahkan bagaimana Amirul Mukminin Utsman bin Affan, di awal masa pemerintahannya, melakukan perombakan besar-besaran terhadap para pejabatnya. Ini menunjukkan bahwa evaluasi kinerja dan pergantian pejabat bukanlah hal baru, melainkan sudah menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan sejak era Khulafaur Rasyidin.
Surat Edaran Khalifah dan Peringatan Keras Soal “Bid’ah”
Langkah pertama yang diambil Khalifah Utsman adalah mengirimkan surat edaran kepada seluruh pejabatnya yang tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Surat ini ditujukan kepada tiga kelompok utama: para panglima perang, para imam salat, dan para bendahara Baitul Mal (kas negara).
Isi suratnya sangat tegas. Selain memerintahkan untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran, Utsman juga menekankan agar para pejabat mengikuti tradisi yang baik (ittiba’) dan meninggalkan perbuatan bid’ah. Nah, di sinilah letak pembahasan yang paling menarik malam ini.
Gus Zul menjelaskan bahwa istilah bid’ah yang dimaksud oleh Khalifah Utsman dalam konteks surat tersebut sangat spesifik, yaitu merujuk pada perilaku korupsi. Pada masa itu, korupsi, suap, dan penyelewengan dana Baitul Mal dianggap sebagai sebuah “perkara baru yang menyimpang” dalam sistem pemerintahan. Jadi, bid’ah yang diperangi oleh Khalifah Utsman adalah korupsi para pejabat, bukan masalah ritual ibadah seperti yang sering diperdebatkan sekarang.
Para Pejabat yang Terkena Reshuffle
Berdasarkan laporan-laporan yang masuk ke pemerintah pusat di Madinah, Khalifah Utsman tidak ragu untuk melakukan pemecatan. Beberapa di antaranya:
- Gubernur Kufah: Al-Mughirah bin Syu’bah, seorang pejabat warisan dari zaman Khalifah Umar, dicopot dari jabatannya. Sebagai gantinya, Utsman menunjuk Sa’ad bin Abi Waqqas, salah satu sahabat senior. Namun, ini menunjukkan betapa seriusnya masalah korupsi saat itu, karena Sa’ad bin Abi Waqqas pun di kemudian hari juga dipecat oleh Utsman karena kasus yang sama.
- Para Imam Salat: Perombakan juga menyasar para imam salat. Lho, kenapa? Ternyata, ada laporan bahwa sebagian dari mereka memimpin salat dalam keadaan mabuk. Gus Zul bahkan menceritakan sebuah riwayat tentang seorang imam yang saat salat terus mengulang-ulang bacaan Surat Al-Kafirun karena pikirannya sudah tidak karuan akibat pengaruh minuman keras.
- Para Bendahara Baitul Mal: Banyak bendahara di berbagai daerah yang diberhentikan karena terbukti melakukan korupsi atau tidak transparan dalam mengelola keuangan negara.
Mekanisme Hukum yang Berjalan
Seorang jamaah di majelis bertanya, “Apakah pemecatan ini dilakukan begitu saja tanpa proses, Gus?”
Gus Zul menjawab, tentu tidak, prosesnya sangat terstruktur. Setiap laporan yang masuk dari daerah akan diproses terlebih dahulu oleh Majelis Qadi (semacam dewan peradilan) yang saat itu dipimpin oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di sinilah para pejabat yang dilaporkan diberi hak untuk membela diri. Asas praduga tak bersalah sudah berjalan. Mereka bisa menghadirkan saksi dan beradu argumen.
Setelah Majelis Qadi selesai mengolah perkara, hasilnya diserahkan kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan. Keputusan akhir, seperti pemecatan atau mutasi, memang ada di tangan khalifah, tetapi itu diambil berdasarkan proses peradilan yang telah berjalan.
Kajian malam ini sekali lagi membuka wawasan kita, bahwa masalah korupsi dan evaluasi pejabat sudah menjadi perhatian serius sejak zaman dahulu. Ketegasan Khalifah Utsman dalam memberantas “bid’ah korupsi” menjadi pelajaran berharga bahwa integritas adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin.




