Presidium Jalanan dan Runtuhnya Wibawa Negara

Melanjutkan part yang sebelumnya, salah salah satu santri online bertanya kepada Gus Ziyyulhaq; Apakah ribuan pengepung rumah Utsman ini sah disebut bughat (pemberontak)?. Pertanyaan aneh menurut kami yang hadir di majelis. Tentu saja para pengepung ini sudah jelas pemberontak.

Namun, Gus Ziyyulhaq berpikiran lain. Beliau tidak langsung memvonis status mereka. Definisi pemberontak atau bughat menjadi sangat kabur pada fase genting semacam ini. Karena Majelis Qadi (lembaga hukum) masih ada, namun lumpuh total. Sehingga, pemerintahan Utsman belum bisa dikatakan bubar secara resmi, walau otoritasnya sudah dilucuti paksa oleh ribuan orang yang mengepung kediamannya. Akibatnya, status hukum menjadi tidak jelas dan membingungkan.

Ketidakjelasan status hukum tersebut berdampak langsung pada buntunya upaya diplomasi. Ali bin Abi Thalib, yang bolak-balik menjadi mediator, akhirnya menyerah dan memilih mundur karena setiap kali ia membawa pesan damai, massa justru semakin liar. Mundurnya Ali ke dalam rumahnya menjadi sinyal bahwa jalur negosiasi telah tertutup rapat, membiarkan masa yang anarkis mengambil alih kendali kota.

Ketika jalur diplomasi terputus, Madinah pun jatuh ke tangan kelompok yang ternyata sangat terorganisir. Mereka bukanlah gerombolan preman yang liar, melainkan satuan tempur yang mendirikan perkemahan logistik di pasar dan tidur di emperan masjid selama berminggu-minggu. Gus Ziyyulhaq menyindir “mereka tidur di rumah Allah (masjid), namun salatnya justru di lapangan karena sibuk memberontak”. Sindiran Gus Ziyyulhaq ini menggambarkan bahwa fenomena tersebut adalah ironi.

Mengapa gerombolan ini bisa begitu leluasa bertahan lama tanpa ada yang membubarkan? Jawabannya terletak pada kelemahan fatal pemerintahan saat itu: ketiadaan aparat keamanan negara. Gus Ziyyulhaq menjelaskan bahwa belum ada lembaga kepolisian tetap atau pasukan anti-huru-hara yang bisa digerakkan sewaktu-waktu untuk menertibkan massa. Negara tidak punya instrumen penertiban, sehingga Utsman benar-benar tak terlindungi.

Kekosongan kekuasaan aparat inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut Gus Ziyyulhaq sebagai “Presidium Jalanan”. Para demonstran mengisi kekosongan itu dengan membentuk kepemimpinan kolektif yang dikoordinir per wilayah: Kufah dipimpin Amr bin Ahtam, Basrah oleh Hurqus bin Zuhair, dan Mesir oleh Al-Ghafiqi. Mereka bersatu membentuk pemerintahan bayangan di jalanan, disatukan oleh satu musuh bersama.

Namun, di balik soliditas semu presidium tersebut, Gus Ziyyulhaq memberikan sedikit spoiler. Kekompakan mereka hanyalah bom waktu yang menunggu meledak pasca wafatnya Utsman nanti. Kelak, koalisi “presidium” ini akan pecah kongsi, saling bunuh berebut kekuasaan, dan melahirkan sekte-sekte yang mencabik persatuan Islam hingga hari ini.

Sosok yang paling membuat kami heran dari keruwetan politik ini tertuju pada Muhammad bin Abu Bakar. Dia adalah putra Khalifah pertama (Abu Bakar), namun tumbuh besar dalam asuhan Ali bin Abi Thalib dan kini justru berdiri memimpin barisan pengepung Utsman. Keterlibatannya menjadi simbol betapa rumitnya fitnah ini: seorang anak khalifah yang kami anggap “saleh” dan merasa benar dalam ijtihad politiknya, namun langkahnya justru menjadi sumber kehancuran tatanan negara.

Kami menyadari satu pelajaran mahal dari peristiwa yang begitu rumit dan pelik di atas. Negara tanpa konstitusi dan aparat keamanan yang mapan adalah negara yang rapuh. Sebaik apa pun pemimpinnya, ia akan mudah diguncang oleh mereka yang merasa paling benar sendiri.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 46