Malam beranjak larut di Ndalem Seringin, namun suasana justru terasa semakin hangat. Bukan hanya karena uap teh dan kopi yang mengepul di antara kami, tetapi juga karena kebersamaan untuk tujuan pengetahuan. Kami, para pecinta sejarah yang tergabung dalam komunitas Waskita Jawi, berkumpul untuk memulai sebuah tradisi tahunan yang umum di kalangan pesantren: Ngaji Pasan. Di serambi rumah guru kami, Gus Ziyyulhaq (Ndalem Seringin), kami duduk melingkar di atas tikar, siap membuka lembaran baru dalam perjalanan intelektual dan spiritual kami di bulan Ramadan ini. Malam ini adalah malam pembuka, atau mukadimah, sebuah gerbang sebelum kami menyelami isi utama kitab yang akan dikaji.
Gus Ziyyulhaq tidak langsung membuka kitab. Beliau justru mengajak kami untuk melakukan perjalanan waktu, menelusuri akar dari tradisi yang sedang kami jalankan ini. “Ngaji Pasan ini bukan sekadar kegiatan mengisi Ramadan,” buka beliau dengan nada tenang. “Ini adalah tradisi yang usianya sudah ratusan tahun di Nusantara, menjadi roh dan jantung dari pendidikan di pesantren-pesantren tanah Jawa.” Beliau berkisah bagaimana tradisi mengkaji kitab secara intensif selama bulan puasa ini diwariskan secara turun-temurun. Sebuah rantai spirit keilmuan yang tak putus, terhubung dari Mbah Donopuro di abad ke-17, lalu diwariskan kepada muridnya, Mbah Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, hingga terus mengalir sampai kepada guru-guru kita hari ini.
Menariknya, tradisi lisan dan praktik yang begitu kuat ini justru seringkali luput dari catatan para sejarawan formal. Ini adalah sejarah yang hidup, yang diwariskan melalui laku dan keteladanan, bukan sekadar teks bisu di atas kertas. Kekuatannya terbukti saat ia tetap bertahan kokoh, bahkan ketika di masa Orde Baru sistem pendidikan pesantren sempat tidak diakui secara formal oleh negara. Ini membuktikan bahwa Ngaji Pasanan adalah sebuah gerakan budaya yang lahir dari masyarakat, bukan instruksi dari atas. “Anehnya,” kata Gus Ziyyulhaq, “pesantren di Rembang, di Banten, di Tulungagung, yang jaraknya ratusan kilometer, semua serentak mengadakan ngaji pasanan dengan metode yang hampir mirip. Siapa yang menginstruksikan? Tidak ada. Ini adalah warisan yang membudaya secara alamiah.”
Setelah memantapkan pemahaman kami tentang ‘mengapa’ kami berada di sini, barulah Gus Ziyyulhaq memperkenalkan ‘peta’ yang akan memandu pelayaran kami mengarungi samudra sejarah selama sebulan ke depan. Peta itu adalah sebuah kitab mahakarya: Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. Fokus kajian kami tahun ini adalah sejarah Islam, dimulai dari babak penting pengangkatan Utsman bin Affan sebagai khalifah.
“Kenapa kita memilih kitab ini?” Seolah menjawab pertanyaan di benak kami, Gus Ziyyulhaq memaparkan alasannya. Di lingkungan pesantren, Ibnu Katsir lebih masyhur sebagai seorang ahli tafsir Al-Qur’an. Namun, karya sejarahnya ini tak kalah gemilang. Metode penulisannya sangat sistematis dan untuk ukuran abad ke-13, luar biasa modern. Berbeda dengan banyak penulis sejarah lain yang seringkali menyusun cerita berdasarkan tokoh sehingga alurnya bisa tumpang tindih dan membingungkan, Ibnu Katsir menyajikan karyanya secara kronologis berdasarkan urutan tahun. Setiap peristiwa, lengkap dengan detail waktu, tokoh, dan konteksnya, diurai secara runtut. “Membacanya jadi enak, ndak ruwet,” ujar beliau sambil tersenyum.
Sebuah fakta menakjubkan kemudian diungkap. Ibnu Katsir, yang menulis karyanya di Damaskus, ternyata hidup sezaman dengan masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Bayangan tentang seorang ulama besar yang tekun menulis di Timur Tengah, sementara di saat yang sama sebuah kerajaan besar tengah mencapai puncaknya di tanah Jawa, membuat sejarah terasa begitu hidup, dekat, dan saling terhubung.
Malam mukadimah ini ditutup dengan pemberitahuan teknis bahwa perjalanan Ngaji Pasan akan dimulai dari Juz 7 kitab Al-Bidayah wan Nihayah, tepatnya di halaman 140. Kami akan menelusuri jejak kepemimpinan Utsman bin Affan hingga akhir hayatnya. Kami pulang malam itu tidak hanya membawa catatan di buku, tetapi juga dengan sebuah kesadaran baru. Kami bukan sekadar pembaca pasif, melainkan bagian dari mata rantai tradisi agung ini. Malam pembuka ini telah berhasil membangun fondasi yang kokoh, memberi kami konteks dan semangat untuk menyelami setiap baris kisah yang akan kami kaji di hari-hari mendatang.




