Para pemberontak sungguh keji, tidak cukup nyawa, untuk memakamkan khalifah Ustman pun masih dihalang-halangi, entah iblis mana yang merasuki mereka. Kami para santri dibuat melongo mendengarkan cerita itu.
Sebatang rokok dibakar dan Gus Ziyyulhaq melanjutkan ceritanya. Pemakaman di tempat itu terpaksa dilakukan oleh rombongan yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan yang lain. Pemberontak sama sekali tidak mengizinkan makam Utsman berdekatan dengan para sahabat di Baqi’.
“Ojo dimakamne Baqi’, ora patut. Baqi’ iku makame wong saleh, mujahid-mujahid Islam, pembela-pembela Islam,” (Jangan makamkan di Baqi’, tidak pantas. Baqi’ itu makamnya orang saleh, mujahid-mujahid Islam, pembela-pembela Islam) begitulah logika kejam para pemberontak.
Rombongan kecil itu akhirnya menuju Hasyu Kaukab, area pemakaman khas Yahudi di Madinah, semacam “kuburan Cina” di Indonesia, ujar Gus Ziyyulhaq memberi perumpamaan. Ali, Thalhah, dan yang lain ikut menggali kubur (ndudug kuburan bareng-bareng) meski tubuh mereka—terutama Ali—masih terluka akibat mempertahankan rumah Utsman.
Beruntungnya jenazah Utsman tetap dijaga oleh keluarga dan para pengikutnya loyalis. “Umpama ucul kayak dené pengikuté kae, koyo dene Nujayhun karo Subaykhun yo wis dibacok terus dipakkne anjing,” (Seandainya lepas seperti pengikutnya yang bernama Nujayhun dan Subaykhun, ya sudah dibacok lalu dimakan anjing). Untungnya, jenazah Khalifah bisa dimakamkan dengan baik di area makam Yahudi itu.
Gus Ziyyulhaq lantas menyambung kisah ini dengan realitas hari ini: “Zaman sekarang ini kaum Muslim jika berkunjung ke Madinah, ning Masjid Nabawi kono, (di Masjid Nabawi sana) akan menemui hanya ada makam Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar. Ke mana makamnya Utsman? Nynjeng roko. (Di sebelah sana). Makamnya Utsman tidak campur dengan Kanjeng Nabi, Abu Bakar, Umar. Itu bukti sejarah, konkret.“
Usai penjelasan prosesi pemakaman Ustman, sesi ngaji beralih ke tanya jawab. Mas Irfan Nuruddin mengajukan pertanyaan: “Nama-nama pemberontak sampai sekarang kok misterius, Mbah. Apa ada penggelapan sejarah?“
“Ya, tidak,” jawab Gus Ziyyulhaq santai. Beliau menjelaskan bahwa nama-nama itu sebetulnya sudah ditulis jelas oleh Ibnu Katsir dan sudah dicatat oleh para santri-santrinya. Nama-nama itu kemudian menjadi daftar buronan yang harus dibunuh oleh pemerintahan Muawiyah. “Kenapa umat Islam zaman sekarang tidak tahu? Bukan penggelapan sejarahnya, umat Islam saja yang enggak tahu. Durung ngaji sejarah (belum mengaji sejarah),” ujar Gus Ziyyulhaq.
Pertanyaan lain muncul: Apakah ada sahabat senior yang menentang Utsman? Apakah ada konspirasi grand design yang menyuruh yang muda disuruh maju, yang senior menyetujui dengan diam?
Gus Ziyyulhaq mengiyakan. Memang ada sahabat senior yang secara politik anti-Utsman. Thalhah dan Zubair, sejak pemilihan khalifah dulu, sebetulnya mendukung Ali. Aisyah juga anti-Utsman, bahkan beliaulah yang pertama kali menjuluki Utsman dengan sebutan “Na’sal”.
“Artinya sahabat-sahabat senior itu juga anti-Utsman, banyak. Cuman dalam konteks membela hak hidupnya itu mereka juga jalan. Mereka tetap membela hak hidup Utsman,” tegas Gus Ziyyulhaq, mewanti-wanti agar jangan mencampuradukkan perbedaan politik dengan persoalan kemanusiaan.
Beliau mencontohkan penghormatan Ali bin Abi Thalib yang luar biasa: “Ali itu sangat menghormati Utsman. Sampai Ali itu nyolati, ngedusi, ngeterne ning makam, nampani jenazah Utsman pas dibacoki. (Menyalati, memandikan, mengantar ke makam, menerima jenazah Utsman saat dibacok). Luar biasa!” Ali dan Utsman mungkin punya perbedaan pandangan, tapi itu lumrah (wajar). Perbedaan itu sebenarnya bisa diselesaikan jika situasi kondusif.
Menariknya, ada pertanyaan lain tentang cikal bakal Syiah. Apakah para pembunuh Utsman ini termasuk cikal bakal golongan Syiah?
“Memang nanti para pelaku pembunuh Utsman ini nanti dia sangat mendukung kepemimpinan Ali, bahkan sampai mengkultuskan Ali bin Abi Thalib,” jawab Gus Ziyyulhaq.
Fakta sejarah mencatat bahwa para pembunuh Utsman ini kemudian menjadi cikal bakal kelompok Syiah Ali. Mereka mengusung Ali menjadi Amirul Mukminin. Ini sangat mungkin menjadi alat berlindung bagi mereka agar tidak dihukum. Ali sendiri sebetulnya ingin menghakimi pembunuh Utsman. Namun, situasi sudah terlalu sulit.
Gus Ziyyulhaq kemudian menutup sesi dengan meralat persepsi bahwa kisah kebrutalan ini hanya ditulis Ibnu Katsir. Beliau menyebut kitab-kitab sejarah lain yang memuat narasi persis: Tarikh Thabari, Sairu A’lamin Nubala karya Imam Zahabi, Thabaqat al Kubra karya Ibnu Sa’ad, dan Al Maghazi karya Al Waqidi.
“Jadi Ibnu Katsir ini ora nggawe cerita anyar (tidak membuat cerita baru). Aku ya ora. Cuma membacakan saja. Penulis-penulis sejarah yang lain ya menulis semua,” tutup beliau. “Kalau kaget, jangan salahkan aku, jangan salahkan Ibnu Katsir. Salahkan dirimu sendiri yang kaget. Salahmu ora gelem moco. Minimal ngrungokne. (Salahmu tidak mau membaca. Minimal mendengarkan).“
Malam itu, kami terdiam. Ada pertanyaan besar berdengung di kepala. Rasa tak percaya menggantung di udara nDalem Seringin. Bagaimana mungkin kebencian politik membuat umat Islam tega menolak jasad pemimpinnya sendiri?
Utsman bin Affan, Dzun Nurain, menantu Rasulullah, berakhir di Hasysyu Kaukab—tanah makam Yahudi. Beliau dibunuh saat memeluk Al-Qur’an, jenazahnya tak diizinkan istirahat di tanah kaum Muslimin. Apa yang sebenarnya terjadi pada hati manusia ketika fanatisme membutakan mata? Sejarah malam ini menyisakan lubang misteri kelam. Jawabannya mungkin masih tersembunyi di lembar sejarah berikutnya.




