Suara Gus Ziyyulhaq saat membacakan Bidayah wan Nihayah seolah masih terngiang, memecah sunyi malam yang kian larut. Seperti biasa, beliau dengan sabar dan semangat menuntun kami yang pemalas menyelami samudra sejarah. Tak lupa, tawasul dan doa untuk para pendahulu dilantunkan bersama sebagai tanda pembuka ngaji.
Malam itu, ngaji terasa lebih berat namun penting. Kami diajak menyusuri babak baru sejarah Islam, tepat setelah palu keputusan diketok dan Utsman bin Affan resmi dibaiat menjadi Amirul Mukminin.
Jika kemarin kami melihat betapa alotnya proses pemilihan beliau, malam ini kami diajak untuk menyimak khotbah perdana sang khalifah baru, sekaligus kasus hukum pelik yang langsung menyambutnya di awal masa jabatannya.
Gus Ziyyulhaq mengutip riwayat dari Ibnu Katsir yang menggambarkan suasana saat itu. Setelah dibaiat, Utsman bin Affan naik ke mimbar Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan khotbah pertamanya. Namun, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa beliau begitu gugup hingga sempat kesulitan merangkai kata (irtajja). Sebuah gambaran yang sangat manusiawi, mengingatkan kita bahwa bahkan seorang sahabat besar pun bisa merasakan demam panggung saat memikul amanah yang begitu berat.
Meski begitu, inti dari khotbah beliau sangat mendalam. Setelah memuji Allah dan bersalawat kepada Nabi, Utsman mengingatkan umat bahwa dunia ini hanyalah “kampung persinggahan” dan kehidupan ini hanyalah sisa dari umur yang telah ditetapkan. Beliau menasihati agar semua orang bergegas melakukan kebaikan, karena dunia ini penuh dengan tipu daya (ghurur).
Untuk memperkuat pesannya, Khalifah Utsman bin Affan mengutip Surat Al-Kahfi ayat 45-46, yang pada intinya menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini layaknya tanaman yang tumbuh subur karena air hujan, namun akhirnya kering dan diterbangkan angin. Harta dan anak-anak hanyalah perhiasan, sedangkan amalan saleh yang kekal adalah yang terbaik di sisi Allah.
Tak lama setelah menjabat, Khalifah Utsman langsung dihadapkan pada sebuah kasus pidana yang sangat sensitif. Ini adalah kasus hukum pertama yang harus beliau tangani. Kasus ini melibatkan Ubaidullah, putra dari Khalifah Umar bin Khattab sendiri.
Setelah ayahnya dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah, Ubaidullah yang terbakar amarah melakukan aksi balas dendam. Ia tidak hanya membunuh Abu Lu’lu’ah, tetapi juga dua orang lain yang ia duga terlibat dalam konspirasi pembunuhan ayahnya:
- Putri Abu Lu’lu’ah.
- Jufainah, seorang pria Nasrani yang telah masuk Islam.
- Hurmuzan.
Tindakan Ubaidullah ini sontak menjadi persoalan hukum yang rumit. Di satu sisi, ia adalah putra dari khalifah yang baru saja terbunuh secara tragis. Di sisi lain, ia telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
Para sahabat pun berselisih pendapat mengenai hukuman yang pantas untuk Ubaidullah. Ali bin Abi Thalib, misalnya, berpendapat tegas bahwa Ubaidullah harus dihukum qisas (hukuman mati setimpal) karena telah membunuh.
Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, Khalifah Utsman bin Affan mengambil keputusan yang berbeda. Beliau memutuskan untuk tidak memberlakukan hukum qisas, melainkan menggantinya dengan diyat (denda atau uang tebusan) yang harus dibayarkan kepada keluarga korban. Karena saat itu kas negara (Baitul Mal) tidak mencukupi, Utsman bahkan menawarkan untuk membayar diyat tersebut dari harta pribadinya.
Keputusan ini bukanlah tanpa konsekuensi. Guz Ziyyulhaq menjelaskan bahwa langkah ini menjadi salah satu pemicu ketegangan politik di kemudian hari. Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya merasa kurang puas dengan keputusan tersebut, yang mereka anggap tidak sepenuhnya memenuhi rasa keadilan. Akibatnya, hubungan antara Ali dan Utsman mulai merenggang. Sementara itu, Ubaidullah bin Umar, yang merasa posisinya di Madinah tidak lagi nyaman, akhirnya memilih untuk menyingkir ke Damaskus dan bergabung dengan kubu Muawiyah.
Malam ini kami belajar banyak. Bukan hanya tentang isi khotbah seorang pemimpin, tetapi juga tentang betapa beratnya menegakkan hukum di tengah situasi yang begitu pelik dan emosional. Sebuah keputusan, meskipun diambil dengan niat baik, bisa memiliki dampak politik yang panjang. Kajian malam ini ditutup, menyisakan banyak bahan renungan hingga pertemuan berikutnya.




