Ketika Penghafal Qur’an Memimpin Kudeta: Sisi Gelap Sejarah Madinah

Saat jari ini mulai mengetik artikel untuk episode ini, ada rasa berat yang tiba-tiba menggelayut. Bukan soal rasa bosan atau malas karena rutinitas menulis. Melainkan karena kami ingat bahwa episode ini adalah episode awal peristiwa yang berujung pada Ustman bin Affan yang disiksa dan dibunuh dengan kejam.

Peristiwa ini masih berada di tahun 35 Hijriah. Gus Ziyyulhaq menceritakan Madinah lumpuh total karena Marwan bin Hakam kabur dan diplomasi buntu. Ribuan demonstran memblokade pasar dan jalanan, membuat hukum rimba berlaku di kota Nabi.

Ibnu Katsir mencatat sikap para sahabat senior dengan kalimat “wa sakanu hatta yaqdiyallahu ma yasya”. Mereka diam, menahan tangan, dan pasrah menunggu takdir Tuhan. Ali bin Abi Thalib hingga Abu Hurairah memilih mengunci diri di rumah karena situasi sudah tak terkendali.

Namun, kami tertegun pada sikap Abdullah bin Umar. Putra Umar bin Khattab yang dikenal sangat anti-kekerasan dan sudah lama “gantung pedang” ini akhirnya turun gunung. Ia terpaksa menghunus pedangnya kembali, berdiri menjadi pagar betis demi melindungi rumah Utsman.

Ironi terbesar malam itu justru terjadi di mihrab Masjid Nabawi. Saat Utsman terkurung, posisi imam salat lima waktu diambil alih paksa oleh Al-Ghafiqi bin Harb. Gus Ziyyulhaq menjelaskan dengan nada getir bahwa dia adalah pemimpin demonstran.

Yang membuat sesak, Al-Ghafiqi bukanlah preman atau perampok, melainkan seorang Qura’ (penghafal Al-Qur’an). Dia sosok yang alim dan fasih menafsirkan ayat suci, namun di saat yang sama memimpin gerakan untuk menggulingkan Khalifah yang sah.

Fakta ini menampar kesadaran kami di masa kini. Ternyata, hafalan dalil tidak selalu berbanding lurus dengan kebenaran politik. Seseorang bisa sangat saleh secara ritual, namun memimpin pemberontakan berdarah di tempat suci.

Puncak tragedi terjadi di hari Jumat, saat Utsman memaksakan diri naik ke mimbar Nabi untuk berkhotbah. Di sanalah beliau diserang. Gus Ziyyulhaq memvisualisasikan momen itu dengan suara keras: “Jlek!” Lutut sang Khalifah dihantam pedang hingga patah.

Hasan dan Husein yang pasang badan pun ikut berdarah-darah dalam bentrokan itu. Salat Jumat bubar seketika, dan masjid suci itu berubah menjadi arena tawuran. Utsman pun digotong pulang dalam keadaan pingsan dan terluka parah.

Dalam isolasi, Utsman bertanya lirih pada Thalhah bin Ubaidillah yang menjenguknya. “Thalhah, di pihak mana kau sekarang?” tanya beliau, mengingatkan statusnya sebagai teman Nabi di surga. Pertanyaan menohok itu membuat Thalhah menangis tersedu-sedu.

Namun, plot twist paling menyakitkan ada di bagian akhir catatan ngaji kami. Di tengah pengepungan ketat oleh “Tim 700” yang terdiri dari sahabat setia dan para budak, nama Marwan bin Hakam tiba-tiba muncul kembali di dalam rumah.

Sang pemicu masalah yang sebelumnya kabur, kini ternyata berlindung aman di balik punggung orang yang ia fitnah. Marwan bergabung dalam barisan pengawal, sementara di luar sana ribuan orang menuntut darah karena ulah administrasinya.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 46