“Amirul Mukminin Utsman bin Affan diserang di rumahnya pada saat menjelang subuh,” kata Gus Ziyyulhaq mengawali ngaji dengan mereview materi sebelumnya. Serangan itu bukan kerusuhan yang terjadi secara spontan, melainkan semacam operasi militer yang terstruktur, sistematis dan masif. Ibnu Katsir menyebut para penyerang ini sebagai Al-Khawarij artinya kaum yang keluar, atau kaum pemberontak (bughat).
Gus Ziyyulhaq lantas mengajak kami menengok situasi di balik dinding rumah yang sedang dikepung pemberontak. Di dalam rumah, Utsman tidak sendirian. Ada istri-istrinya, anak-anak kecil, perempuan-perempuan, dan para budak (mawali). Sang Khalifah sendiri sedang khusyuk membaca Al-Qur’an, mungkin mencari ketenangan di tengah badai fitnah yang mengepungnya.
Di luar rumah, lebih dari 30 orang penyerang bergerak bak pasukan khusus. Gus Ziyyulhaq menggambarkan pola serangan mereka sangat masif: ada yang meloncat pagar, memanjat dengan tangga, hingga menerobos paksa dari pintu depan, samping kanan, kiri, dan belakang rumah.
Pintu depan sebenarnya dijaga ketat. Di sana berdiri benteng hidup yang terdiri dari Abna’us Shahabah (anak-anak sahabat): Hasan dan Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Penjagaan bahkan berlapis-lapis, dibantu oleh pasukan kiriman Muawiyah dan relawan dari Kufah. Namun, para penyerang itu cerdik. Mereka membaca situasi, mencari celah, dan menyerbu masuk secara serentak. “Gredag gredag gredag, melbu omah, mbacoki del del del del,” (Gredag gredag gredag, masuk rumah, membacok del del del del) ujar Gus Ziyyulhaq memvisualisasikan kegaduhan dan kebrutalan momen itu.
Dan terjadilah tragedi pembunuhan kejam di dalam rumah sang Khalifah Islam. Di hadapan mushaf yang terbuka, Utsman bin Affan, sang Dzun Nurain, diserang tanpa ampun. Gus Ziyyulhaq merinci kondisi fisik beliau yang membuat hati teriris: giginya patah (rompal), kaki dan tangannya nyaris putus, dan dadanya dihujam pedang. Punggung beliau menerima lebih dari 80 kali tebasan. Jubah yang beliau kenakan robek-robek bersimbah darah.
Istri beliau, Na’ilah, berusaha melindungi sang suami dengan tangan kosong. Namun, pedang para pemberontak tak kenal belas kasihan. Jari-jemari Na’ilah putus tertebas saat mencoba menahan serangan. Dua orang budak setia yang mencoba membela Utsman pun gugur di tempat. Subuh itu, rumah sang Khalifah banjir darah.
Menjelang pagi, para penyerang itu menghilang bak ditelan bumi. Mereka tidak hanya membunuh, tapi juga menjarah harta benda di rumah Utsman. Siangnya, Madinah gempar. “Presidenne dipateni loh,” (Presidennya dibunuh loh) kata Gus Ziyyulhaq menggambarkan keterkejutan warga. Namun, siapa pelakunya? Tidak ada yang tahu pasti. Para pembunuh itu beraksi menggunakan cadar, menyembunyikan identitas mereka di balik kain penutup wajah. Ibnu Katsir memang mencatat enam nama, tapi bagi masyarakat awam saat itu, semuanya serba misterius. Desas-desus liar pun merebak.
Kabar duka ini menyebar sangat cepat. Di Makkah, Majelis Qadi dan para jamaah haji sedang berkumpul di Masjidil Haram. Tiba-tiba ada pengumuman mengejutkan di depan Ka’bah: “Amirul Mukminin Utsman bin Affan terbunuh!”
Aisyah RA, Thalhah, dan Zubair yang sedang berhaji langsung tersentak. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucap mereka serempak. Berita itu menjalar cepat lewat lisan para musafir dan pedagang (gepok tular), dari Makkah ke Damaskus, hingga ke Mesir, membakar emosi umat di seluruh penjuru negeri.
Namun, penderitaan Utsman belum berakhir meski nyawanya telah tiada. Gus Ziyyulhaq menceritakan perlakuan biadab terhadap jenazah beliau. Ada riwayat tentang seorang pria bernama Umair bin Dhabi’ yang nekat menaiki ranjang jenazah Utsman. Saat jenazah sedang dipersiapkan untuk disalati, Umair dengan kejam mematahkan tulang rusuk Utsman yang sudah wafat. “Fa kasaro dhulu’an min adhla’ihi,” (Maka dia mematahkan satu tulang rusuk dari tulang-tulang rusuknya).
Ada lagi kisah mengerikan tentang seseorang yang bersumpah akan menampar wajah Utsman. Orang ini pura-pura ikut menyalati, namun saat mendekat, ia menyingkap kain penutup wajah Utsman dan memukul wajah jenazah yang mulia itu. “Fa waja’tuhu khuwwatan,” (Aku memukulnya dengan keras) aku orang tersebut dalam riwayat Ibnu Sirin. Kebencian macam apa yang membuat seseorang tega menyakiti jasad yang sudah tak bernyawa?
Jenazah Utsman sempat tertahan selama tiga hari tidak dimakamkan (baqiya ba’da an qutila tsalaata ayyamin la yuqsan). Alasannya, situasi politik di Madinah sangat chaos. Majelis Qadi sibuk mengurus persiapan suksesi pengganti khalifah baru, sementara ancaman dari kaum Khawarij masih mengintai.
Akhirnya, pemakaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi di antara waktu Maghrib dan Isya (ma baynal maghrib wa ‘isya’a khifatan minal khawarij). Hanya segelintir orang yang berani mengantar beliau ke peristirahatan terakhir, di antaranya Hukaim bin Hizam, Jubair bin Muth’im, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, dan istri beliau, Na’ilah.
Ironisnya, jenazah Utsman tidak bisa dimakamkan di tempat yang beliau inginkan. Keluarga ingin memakamkannya di dekat Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar, namun dilarang oleh pemberontak. Ingin dimakamkan di Baqi’ (pemakaman umum Muslim), juga dihadang.
Pilihan terakhir yang menyedihkan pun diambil. Utsman bin Affan, menantu Rasulullah yang menjabat sebagai Khalifah, terpaksa dimakamkan di Hasysyu Kaukab—sebuah area pemakaman milik orang Yahudi yang terletak di balik tembok timur Baqi’. “Fa dafanuhu syarqiyyal Baqi’i tahta nakhlatin hunak,” (Maka mereka memakamkannya di sebelah timur Baqi’ di bawah pohon kurma di sana).
Kami para santri terdiam. Ada satu pertanyaan besar yang terus berdengung di kepala, menyisakan rasa tak percaya yang menggantung. Bagaimana mungkin kebencian politik bisa membuat umat Islam tega menolak jasad pemimpinnya sendiri?
Bayangkan saja, Utsman bin Affan, sosok yang dua kali menjadi menantu Rasulullah, justru berakhir mengenaskan. Ia dibunuh saat memeluk Al-Qur’an, tapi jenazahnya seolah tak diizinkan beristirahat di tanah kaum Muslim.
Jika pada masa sahabat—yang katanya masa terbaik dalam sejarah Islam— antar sahabat Nabi saling fitnah secara kejam, hingga tega menistakan jasad sahabat lainnya, lantas apa yang sebenarnya terjadi pada manusia hari ini ketika fanatisme terhadap Islam sudah menutup akal sehat?




