Jumat Kelabu di Madinah: Ketika Darah Sang Khalifah Tumpah di Mimbar Salat Jumat

Jujur saja, kantuk sisa aktivitas siang hari ini begitu menggelayut di pelupuk mata. Namun, rasa kantuk itu seketika kami lawan saat Gus Ziyyulhaq membuka kitab dengan gaya yang tak lazim. Tidak ada “Tsumma dakholat…” yang biasa menjadi penanda babak baru. Malam ini, beliau langsung masuk ke inti kejadian dengan kalimat: “Wastamarro Utsmanu yusholli binnaasi…”

Bagi kami para santri, loncatan narasi ini terasa agak aneh, namun justru itulah yang memancing rasa penasaran. Kami sadar, Gus Ziyyulhaq sedang mengajak kami fokus penuh pada satu titik krusial: peristiwa berdarah yang menjadi pintu gerbang syahidnya Sang Dzu Nurain, Utsman bin Affan.

Peristiwa mengerikan itu terjadi pada hari Jumat. Kota Madinah saat itu sudah dikuasai oleh ribuan demonstran yang datang bergelombang dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Meski situasi genting, Utsman bin Affan tetap memaksakan diri keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya sebagai imam dan khatib. Beliau naik ke mimbar dengan memegang tongkat (al-‘ashoo)—sebuah tongkat bersejarah yang dulu menjadi sandaran Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan Umar saat berkhotbah. Namun, khotbah itu tidak selesai. Di tengah suasana khusyuk seketika menjadi tegang, seorang lelaki (yang dalam riwayat lain disebut sebagai Al-Ghafiqi bin Harb, pemimpin demonstran dari Mesir) tiba-tiba berdiri dan memotong khotbah dengan membentak kasar. Ia meneriaki Utsman dengan sebutan “Na’sal” dan memaksanya turun.

Istilah “Na’sal” yang diteriakkan penyerang Ustman ternyata memiliki makna yang menyakitkan. Gus Ziyyulhaq menjelaskan bahwa Na’sal sejatinya adalah nama seorang Yahudi tua di zaman Nabi yang dikenal sebagai tukang sihir dan munafik. Sosok Na’sal asli ini memiliki fisik jangkung dengan jenggot panjang yang jarang-jarang, serta perilaku yang menjengkelkan: ia sering mengolok-olok wahyu dan mencari-cari bekas jejak Nabi untuk disihir. Para pemberontak menyematkan panggilan ini kepada Utsman untuk membunuh karakter sang Khalifah, seolah-olah Utsman adalah pemimpin yang nggledhis (banyak bicara tak masuk akal) dan tidak konsisten terhadap wahyu, sebuah fitnah keji yang diamini oleh massa yang sedang marah.

Teriakan “Na’sal” itu bukanlah interupsi, melainkan sinyal serangan. Gus Ziyyulhaq menggambarkan; lelaki itu merebut tongkat Nabi dari tangan Utsman, lalu memukulkannya keras-keras ke lutut kanan sang Khalifah. “Prak!” Tongkat pusaka itu patah. Serpihan kayunya bahkan melukai kaki Utsman hingga menyebabkan pendarahan hebat yang disebut Ibnu Katsir sebagai al-akilah (darah kental yang memuncrat keluar). Utsman jatuh tersungkur, pingsan di atas mimbar, dan harus digotong pulang oleh para jamaahnya. Sejak hari Jumat berdarah itu, Utsman tak pernah lagi keluar rumah, terkurung dalam pengepungan hingga hari kematiannya.

Anehnya, setelah melihat Amirul Mukminin terluka parah dan berdarah-darah, para demonstran ini sama sekali tidak merasa bersalah. Tidak ada penyesalan di wajah mereka. Justru, insiden itu membuat mereka semakin berani (thoma’a). Mereka merasa bahwa ajal Utsman sudah dekat, dan kejatuhan sang Khalifah tinggal menunggu waktu. Logika mereka sudah terbalik; kekerasan terhadap pemimpin yang sah dianggap sebagai jalan menuju kemenangan.

Di tengah situasi yang sangat genting dan mencekam ini, terjadi sebuah anomali sejarah yang membuat kami mengernyitkan dahi. Gus Ziyyulhaq menceritakan bahwa para sahabat senior seperti Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Ummul Mukminin Aisyah RA, justru memutuskan untuk meninggalkan Madinah. Mereka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, meninggalkan Utsman yang sedang dikepung maut sendirian di Madinah. Kepergian tokoh-tokoh kunci ini membuat posisi Utsman semakin lemah dan terisolasi.

Kekacauan pun mencapai puncaknya. Karena Majelis Qadi (lembaga hukum) sudah lumpuh total dan tidak ada lagi otoritas yang ditakuti, massa demonstran memutuskan untuk mengambil langkah fatal: menerobos masuk ke dalam rumah Utsman bin Affan. Pengepungan berubah menjadi penyerbuan. Namun, rumah sang Khalifah tidak kosong tanpa pertahanan.

Di balik pintu rumah Utsman, berdiri benteng hidup yang terdiri dari anak-anak muda pemberani. Ada Hasan dan Husein (putra Ali bin Abi Thalib), Abdullah bin Zubair (putra Zubair bin Awwam), dan Abdullah bin Umar (putra Umar bin Khattab). Mereka diutus oleh ayah-ayah mereka—termasuk Ali bin Abi Thalib yang mengirim kedua putranya—untuk menjadi perisai terakhir bagi Utsman. Mereka bertarung menghadapi gelombang massa, bahkan Hasan dan Husein dikabarkan sampai terluka demi melindungi sang Khalifah.

Selain para pemuda Quraisy itu, Gus Ziyyulhaq juga mengungkap ada bantuan pasukan dari luar Madinah untuk menjaga rumah Ustman. Muawiyah dari Syam telah mengutus pasukan yang dipimpin oleh Habib bin Maslamah. Begitu juga dari Kufah, datang pasukan di bawah pimpinan Qa’qa’ bin Amr.

Fakta uniknya, mereka ini datang berbaur dalam gelombang massa demonstran, sehingga sulit dibedakan mana kawan mana lawan. Mereka sejatinya adalah “demonstran” yang pro-Utsman bin Affan, namun jumlah mereka kalah jauh dibandingkan ribuan pemberontak yang sudah haus darah. Kedatangan mereka yang tersamar ini tidak mampu membendung arus besar sejarah yang sedang bergerak menuju tragedi pembunuhan sang Dzun Nurain.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 46