Pembahasan ngaji dimulai dengan keputusan politik Khalifah Utsman yang cukup mengejutkan: pemecatan Mughirah bin Syu’bah dari kursi Gubernur Kufah dan digantikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas.
Gus Ziyyulhaq menjelaskan dengan gaya bahasanya yang sederhana namun gamblang, bahwa ini bukan sekadar politik kekuasaan, melainkan pelaksanaan wasiat Umar bin Khattab. Namun, ada kisah menarik nan menggelitik di balik pemecatan Mughirah yang memancing gelak tawa kami para santri.
Ternyata, Mughirah dipecat karena dilaporkan warga Kufah atas dua kasus fatal:
-
Mengimami shalat Subuh sebanyak empat rakaat.
-
Melakukannya dalam kondisi mabuk.
Gus Ziyyulhaq menceritakan momen sidang Mughirah di Madinah dengan jenaka. Saat ditanya kenapa salat Subuh empat rakaat, Mughirah beralasan, “Dulu saya melihat Rasulullah salatnya juga begitu.” Tentu saja ini alasan yang dicari-cari oleh Mughirah. Tapi poin utamanya, Mughirah mengakui kesalahannya karena memimpin salat saat mabuk. “Akhire yo trimo dipecat, (Akhirnya dia menerima untuk dipecat)“ jelas Gus Ziyyulhaq.
Uniknya, penggantinya, Sa’ad bin Abi Waqqas, sebenarnya adalah “wajah lama”. Dulu Sa’ad pernah jadi gubernur di zaman Umar tapi dipecat karena tuduhan korupsi ghanimah.
“Fa inni lam a’zilhu ‘an ‘ajzin walaa khiyaanatin.”
Gus Ziyyulhaq mengutip ucapan Umar bin Khattab untuk membersihkan nama Sa’ad: “Aku memecat Sa’ad bukan karena dia lemah atau khianat, tapi karena menuruti kemauan warga.” Jadi, pengangkatan kembali Sa’ad oleh Utsman adalah bentuk rehabilitasi nama baik. Namun, lucunya, warga Kufah yang “rewel” kembali berulah. Baru setahun menjabat, Sa’ad didemo lagi. Akhirnya, Utsman menunjuk Walid bin Uqbah sebagai pengganti, murni karena permintaan warga.
Tak hanya membahas resuffle Gubernur Kuffah yang begitu pelik, di tahun yang sama juga terjadi peristiwa penting tentang meletusnya perang Armenia dan Azerbaijan. Gus Ziyyulhaq menceritakan bahwa wilayah yang dulu takluk di zaman Umar, kini memberontak di zaman Utsman karena hasutan Romawi.
Walid bin Uqbah (Gubernur Kufah yang baru) langsung gerak cepat. Melihat pasukan muslim datang, tentara Romawi justru kabur. Tanpa perlawanan berarti, Walid berhasil mengamankan wilayah tersebut dan membawa pulang ghanimah yang luar biasa banyak.
Hudzaifah bin Yaman kemudian diutus mengurus perjanjian damai. Hasilnya? Penduduk Armenia dan Azerbaijan wajib setor upeti (jizyah) sebesar 800.000 dirham per tahun ke Kufah demi jaminan keamanan. “Bayangkan, 800 ribu dirham itu kalau dikurskan sekarang bisa miliaran,” tambah Gus Ziyyulhaq memberi gambaran betapa kayanya kas negara Islam saat itu.
Di tengah pembahasan tentang upeti dan pajak, ada seorang santri bertanya tentang nilai mata uang. Gus Ziyyulhaq pun agak melenceng sedikit membahas sejarah ekonomi.
Beliau menjelaskan perbedaan Dinar (emas/4 gram) dan Dirham (perak/3 gram) yang ternyata aslinya adalah produk Romawi dan Yunani, bukan asli Arab. Penjelasan menjadi semakin menarik ketika beliau membahas etimologi kata yang kita pakai sehari-hari:
-
Uang: Berasal dari kata “Wang” (nama putri China yang gambarnya ada di koin kuno).
-
Duit: Berasal dari istilah suku Betawi/Belanda (Duit).
-
Fulus: Dari bahasa Arab.
Penjelasan-penjelasan semacam ini membuat ngaji sejarah yang biasanya membosankan dan kadang seperti “musik penghantar tidur”, ketika dikemas dengan gaya Gus Ziyyulhaq yang lugas, menjadi mudah dicerna pikiran. Karena selalu dikaitkan dengan konteks yang sangat dekat dengan kami.
Menjelang akhir ngaji, Gus Ziyyulhaq membacakan surat perintah dari Khalifah Utsman yang sampai ke tangan Walid saat ia berada di Mosul. Isinya tegas: Bantu Muawiyah di Syam!
Pasukan Romawi ternyata menyerang lewat jalur lain (Damaskus). Walid diperintahkan merekrut 8.000 hingga 10.000 pasukan tambahan. Hebatnya, dalam 3 hari, 8.000 pasukan terkumpul di bawah komando Salman bin Rabi’ah dan siap berjihad ke Syam.




