Detik-Detik Alotnya Musyawarah Hingga Terpilihnya Utsman bin Affan

Setelah pekan lalu dibuka dengan mukadimah, malam ini di Ndalem Seringin, kami benar-benar menyelam ke dalam inti kitab Al-Bidayah wan Nihayah. Di hadapan kami, Gus Ziyyulhaq memulai kisah dari salah satu momen paling krusial dalam sejarah Islam: detik-detik menegangkan setelah Khalifah Umar bin Khattab ditikam saat memimpin salat Subuh.

Gus Ziyyulhaq menggambarkan suasana genting saat itu. Dalam kondisi terluka parah dengan sisa waktu yang terbatas, Umar bin Khattab didesak untuk segera menunjuk pengganti. Siapa yang akan memimpin umat yang wilayahnya sudah membentang begitu luas dari Persia hingga Mesir?

Di sinilah, kata Gus Ziyyulhaq, letak kebesaran jiwa Umar. Umar menolak keras usulan untuk menunjuk anaknya sendiri atau kerabatnya. “Aku ora wani nanggung urusane iki ning ngarepe Gusti Allah (Saya tidak berani menanggung urusan ini di hadapan Allah),” ujar Gus Ziyyulhaq, menjelaskan prinsip Umar yang tak ingin mengubah kepemimpinan menjadi sistem dinasti.

Sebagai jalan keluar, Umar membentuk sebuah tim yang terdiri dari enam orang sahabat: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Enam orang inilah yang diberi mandat penuh untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin baru dari antara mereka.

Proses musyawarah pun dimulai, dan ternyata jauh dari kata mudah. Gus Ziyyulhaq melukiskan sebuah pemandangan yang mungkin terasa aneh bagi kita di zaman sekarang. Jika hari ini banyak orang berebut kekuasaan, keenam sahabat ini justru sebaliknya, mereka saling menolak jabatan tersebut. “Ojo aku, ojo aku! (Jangan saya, jangan saya!)” kata Gus Ziyyulhaq sambil memeragakan sikap para sahabat. Mereka semua merasa amat berat dengan tanggung jawab yang begitu besar, apalagi mengingat wilayah Islam yang sudah begitu luas dan kompleks. Perdebatan ini berlangsung sangat alot hingga memakan waktu tiga hari lamanya.

Setelah melalui diskusi yang panjang, proses akhirnya mengerucut. Demi mencari solusi, satu per satu dari mereka mulai melepaskan haknya untuk dipilih.

Pertama, Zubair bin Awwam menyatakan mundur dan melimpahkan haknya kepada Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan hal serupa dan menyerahkan haknya kepada Abdurrahman bin Auf. Terakhir, Thalhah bin Ubaidillah juga mundur dan memberikan haknya kepada Utsman bin Affan.

Kini, calon pemimpin hanya tersisa tiga orang: Ali, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf. Melihat situasi yang masih belum menemukan titik temu, Abdurrahman bin Auf, yang saat itu memimpin jalannya musyawarah, mengambil sebuah inisiatif besar. Beliau menyatakan bersedia untuk mundur dari pencalonan, dengan syarat ia diberi mandat penuh untuk menjadi penentu akhir, memilih di antara dua kandidat yang tersisa: Ali atau Utsman. Keduanya pun menyetujui usulan tersebut.

Apa yang dilakukan Abdurrahman bin Auf selanjutnya adalah sebuah langkah yang bijak. Beliau tidak lantas mengambil keputusan seorang diri di ruang tertutup. Selama tiga hari tiga malam, beliau berkeliling Madinah untuk melakukan apa yang oleh Gus Ziyyulhaq disebut sebagai “jajak pendapat”. Beliau bertanya kepada siapa saja yang ditemuinya, mulai dari para sahabat lain, pedagang di pasar, ibu-ibu, bahkan hingga anak-anak. Pertanyaannya sederhana: di antara Ali dan Utsman, siapa yang lebih kalian inginkan untuk menjadi pemimpin?

Puncak dari proses panjang ini terjadi di Masjid Nabawi setelah waktu Ashar, menjelang Maghrib. Di hadapan seluruh umat yang telah berkumpul sejak pagi, Abdurrahman bin Auf memanggil Ali. Beliau bertanya, “Heh, Ali, engko lek awakmu dadi khalifah, awakmu engko gelem po ora, melu nglakokne koyo dene sing wis dilakoni Abu Bakar karo Umar?” (Wahai Ali, seandainya nanti kamu menjadi khalifah, bersediakah engkau menjalankan pemerintahan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?).

Mendengar pertanyaan itu, seketika Ali menjawab, “Mboten, moh… Saya akan menjalankan pemerintahan sesuai kemampuan saya.” Setelah itu, Abdurrahman bin Auf memanggil Utsman dan mengajukan pertanyaan yang sama persis. Utsman dengan mantap menjawab, “Na’am.” (Iya, saya bersedia).

Mendengar jawaban tersebut, dan berdasarkan hasil jajak pendapat yang telah ia lakukan selama tiga hari, Abdurrahman bin Auf segera mengangkat tangan Utsman dan membaiatnya sebagai Amirul Mukminin yang baru. Proses yang begitu panjang, alot, namun sarat dengan nilai musyawarah dan kebesaran jiwa. Sebagai penutup, Gus Ziyyulhaq menceritakan sebuah detail menarik dari kitab: khotbah pertama Utsman sebagai khalifah ternyata terdengar gugup dan blekak-blekuk (terbata-bata), sebuah gambaran betapa beratnya amanah besar yang tiba-tiba berada di pundaknya.

Bagikan Artikel ini:
Santri Waskita Jawi
Santri Waskita Jawi
Articles: 48